Dunia mungkin tidak akan
menyangka kalau seorang Steve Jobs yang hanya berstatus sebagai mahasiswa drop
out dari sebuah universitas non unggulan di Amerika Serikat, Reed College,
ternyata mampu mengubah dunia. Yup, mengubah dunia. Siapa yang bisa menduga bahwa
industri rekaman di Amerika Serikat bahkan dunia ternyata bisa digoyang oleh
Apple dengan ekosistem iTunes-nya. Lantas siapa pula yang bisa menerka kalau
ternyata ponsel buatan Apple yang full berbasis sentuhan ternyata mampu merusak
kenyamanan Blackberry dan Nokia di pentas perdagangan ponsel di seluruh dunia.
Dan satu lagi, sampai tahun 2010, mungkin masih banyak orang atau bahkan pakar
IT yang tidak percaya bahwa konsumen akan membutuhkan sesuatu yang disebut
komputer tablet. Well, siapa yang berani menyangkal kesuksesan perusahaan
berlogo “buah apel plus gigitan” ini kalau sampai saat ini saja iPad dan iPad 2 ternyata mampu memberikan
pemasukan sebesar tidak kurang dari 10 miliar dollar ke dalam kas Apple.
Semua orang percaya bahwa
kesuksesan Apple selaku perusahaan IT tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin
pendiri sekaligus CEO-nya, Steve Jobs. Perfeksionis dan visioner dalam
bidangnya adalah dua diantara sekian banyak karakter unik Steve yang diyakini
mampu mendongkrak Apple hingga bisa mencapai tahta seperti saat ini. Melalui
tulisan ini, penulis mencoba untuk memaparkan cara Steve memimpin perusahaan
dan karyawan-karyawannya. Penulis berharap, pembaca pengusaha muslim yang
kebetulan juga menyimpan kekaguman kepada tokoh yang satu ini bisa mengambil
hikmah dan pelajaran untuk kemudian mengimplementasikannya ke dalam perusahaan
ataupun bisnis masing-masing. Selamat menikmati. Bismillah …
1. Detil itu penting
Pernah suatu pagi di hari Minggu
pada tahun 2008, Vig Gundotra, salah satu petinggi Google, pernah dihubungi
oleh Steve Jobs. Vic mungkin agak terkejut. Ia menyangka kalau Steve mungkin
menghubunginya untuk sesuatu yang sangat penting, eh ternyata ia keliru. Sang
pendiri Apple ternyata cuma ingin meminta izin kepada Vic supaya ia mau diajak
berdiskusi untuk perubahan gradasi warna kuning pada huruf O kedua dalam logo
Google yang ditampilkan di iPhone.
2. Misterius itu bagus
Anda pernah tahu apa yang terjadi
pada para penggemar Apple di detik-detik menjelang peluncuran iPhone pada tahun
2007 lalu? Mereka sangat-sangat penasaran. Mereka dibuat deg-degan atas apa
yang nantinya bakal dipresentasikan dan didemokan oleh Steve Jobs di atas
panggung. Mereka masih tidak habis pikir, apakah bisa sebuah perusahaan yang
sebelumnya hanya membuat komputer, laptop, dan pemutar musik bisa membuat
sebuah telepon genggam? Di saat dunia tampaknya sudah tidak butuh telepon lagi
mengingat ketatnya persaingan yang sudah terjadi di antara vendor-vendor ponsel
saat itu seperti Nokia, Samsung, RIM, Sony Ericcson, Motorola, LG, dan
sebagainya. Bisakah Apple sukses? Ataukah jangan-jangan produk ini justru
nantinya bisa membuat Apple bangkrut? Bukankah membuat smartphone bukan
keahlian Apple? Kenapa tidak? Mungkin itulah yang diutarakan oleh Steve Jobs.
Dan itulah gunanya “misteri”.
Untuk urusan menjaga kerahasiaan produk, mungkin Apple adalah salah satu yang
terbaik, kalau tidak boleh dibilang terbaik. Betapa tidak? Seluruh karyawan
Apple, mulai dari CEO-nya sendiri sampai ke tingkat pegawai level menengah ke
bawah secara kompak menjaga kerahasiaan produk mereka yang belum diperkenalkan.
Betul bahwa biasanya ada bocoran informasi dari pihak internal Apple kepada
pihak luar, tetapi bocoran itu justru membuat pengguna dan pecinta Apple tambah
penasaran saja. Apa sebab? Karena yang dibocorkan adalah informasi umum tentang
produk itu, tapi tidak tentang spesifikasinya, detil fiturnya, apa warnanya,
dan sejenisnya. Jadi ketika iPhone hendak diluncurkan, seluruh dunia tahu bahwa
Apple nanti akan meluncurkan sebuah telepon genggam, tapi mereka belum tahu
kalau ternyata telepon genggam itu adalah sesuatu yang bisa sekeren dan
serevolusioner iPhone.
3. Jual mahal kalau memang
“mahal”
Dari seluruh produk Apple, jarang
sekali kita temui produk yang menjadi “murahan” di kelasnya. Susah mencarinya,
bahkan mungkin tidak ada dan jangan-jangan tidak akan pernah ada. Di kelas
tablet PC, iPad dan iPad 2 adalah produk kelas atas. Begitu pula untuk
smartphone, iPhone adalah ponsel harga pejabat yang digunakan oleh hampir semua
kalangan (sampai saat tulisan ini dibuat, sudah 100 juta lebih yang terjual).
Di jajaran pemutar musik, iPod masih termasuk pemimpin pasar.
Dari cara Steve dan Apple
membanderol dagangannya, kita jadi bisa menyimpulkan bahwa tidak selamanya
konsumen akan selalu menjatuhkan pilihan pada produk yang harganya jauh lebih
murah. iPad, iPod, iPhone, MacBook, dan iMac adalah contoh betapa mahalnya
harga ternyata tidak berbanding lurus dengan turunnya angka penjualan. Sebagai
konsumen Apple ataupun mereka yang sering bersentuhan dengan pecinta Apple,
kita diberi tahu bahwa kualitas dan nilai lebih dari suatu produk adalah “harta
terbesar” dari produk itu sendiri.
4. Cukup satu atau dua warna saja
Steve bersama Apple-nya memang
keren, ketika vendor-vendor lain sibuk memikirkan warna apa yang cocok untuk
produk mereka (merah, merah kehitam-hitaman, pink, biru, biru muda, abu-abu,
perak, hijau, dan lainnya), mereka justru hanya menyediakan sedikit pilihan
warna saja untuk para penggunanya. Bila Anda perhatikan dengan seksama, umumnya
produk-produk Apple memang tidak memiliki banyak pilihan warna (kecuali iPod).
iPhone hanya dirilis dalam dua warna; hitam dan putih. Begitu pula dengan iPad
dan Macbook. Bahkan untuk iMac tampaknya Apple hanya menyediakan satu warna
saja, putih.
Dari sini kita bisa belajar bahwa
terkadang memang sebaiknya kita tidak usah terlalu banyak menghabiskan waktu
untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Jadi alih-alih pusing dengan pilihan
warna (yang biasanya tidak terlalu sulit untuk dikerjakan dan diselesaikan), kenapa
kita tidak memikirkan hal-hal yang satu atau beberapa level lebih penting
ketimbang warna. Kualitas bahan misalnya. User experience ataukah. Dan
seterusnya. Dan seterusnya. Ada begitu banyak hal penting yang harus Anda
pikirkan terkait produk Anda. Warna memang salah satunya, tapi jangan terlalu
banyak memusingkan soalnya.
5. Pilihlah pegawai yang sebaik
atau bahkan lebih baik ketimbang Anda
Suatu hari di tahun 1996, Steve
pernah diwawancarai oleh reporter NPR, Terry Gross, terkait Apple corporate
life style (baca: nilai-nilai perusahaan Apple). Steve dengan gamblang
menjelaskan bahwa satu hal yang membedakan Apple dengan perusahaan besar
lainnya adalah pada cara Apple merekrut pegawai-pegawainya. Menurut Steve,
umumnya perusahaan besar merekrut pegawai yang nantinya bisa mereka suruh-suruh
(to tell them what to do), tapi di Apple malah sebaliknya. Pegawai yang mereka
rekrut adalah tipikal orang-orang yang justru bisa memberi tahu apa yang
seharusnya bisa dilakukan oleh Apple ke depan.
6. Berani unjuk gigi
Ketika Steve sedang di atas
panggung, hampir semua orang menunggu-nunggu dengan penuh penasaran aksinya
dalam mendemokan produk atau fitur dari sebuah produk. Dan inilah sesuatu yang
ternyata jarang sekali dilakukan oleh CEO-CEO lain. Keberanian dan semangat
menyala-nyala seperti yang ditunjukkan oleh Steve saat mendemokan produk-produk
Apple adalah sebuah bukti tak terbantahkan atas besarnya minat dan cinta
seorang manusia kelahiran tahun 1955 ini terhadap perusahaan dan tim yang
berada di balik peluncuran produk itu sendiri.
7. Dunia tidak perlu konsep,
dunia butuh produk yang nyata
Ingat di tahun 2007 ketika iPhone
muncul, saat itu, iPhone bukanlah smartphone dengan spesifikasi tertinggi.
Kameranya hanya 2MP, konektivitasnya tidak didukung dengan teknologi 3G, dan
masih banyak lagi kekurangan iPhone dibandingkan produk lain besutan
Blackberry, Nokia, ataupun Samsung. Tapi Apple tetap melaju, mereka benar-benar
menjual produk mereka, yang meskipun banyak memiliki kekurangan, tetapi tetap
datang dengan beberapa fitur dan teknologi revolusioner seperti satu-satunya
smartphone nyata (baca: bukan konsep atau sebatas prototype saja) pertama yang
dijual tanpa keypad. Plus ditambah satu lagi, Apple juga memperkenalkan iPhone
App Store ke seluruh dunia. Dengan dua fitur ini saja, iPhone sudah dianggap
sebagai penyebab berubahnya lansekap jagat smartphone saat itu, juga saat ini.
Pengaruh iPhone atau
produk-produk Apple lainnya tampak jelas. Sebelum iPhone, tidak ada satupun
vendor yang berani menjual ponselnya ke publik tanpa keypad sungguhan. Sebelum
Apple, vendor-vendor masih skeptis dan bersikap wait and see ketika hendak
merilis produk di kelas tablet computer. Mereka takut akan merugi karena sistem
operasi dan processor yang tersedia di pasaran saat itu tidak cukup bagus untuk
mendukung komputasi jenis ini.
8. Apa itu visioner? Jangan
lakukan riset pasar!
Menurut Steve Jobs, konsumen
cenderung untuk menuntut produk-produk baru yang bersifat “lebih”. Dalam
artian, “lebih murah”, “lebih cepat”, dan “lebih baik”. Kalau sudah begini,
ruang untuk sebuah evolusi maupun revolusi produk mungkin malah agak tertutup.
Jadi alih-alih mendengarkan konsumen secara membabi buta, Steve Jobs justru
lebih menyukai jalan lainnya, yaitu “bikin saja dulu produknya, biar nanti konsumen
melihat dan mencobanya. lalu perhatikan apa yang terjadi”.
Teknik ini adalah sesuatu yang
masuk akal juga bukan? Bukankah ketika dunia dikerumuni oleh para pengguna
MS-DOS, pasar cenderung menuntut sebuah OS (baca: sistem operasi) baru yang
mungkin lebih baik ketimbang MS-DOS, bisa berlari lebih cepat ketimbang MS-DOS,
dan bahkan kalau bisa dengan banderol harga yang lebih murah. Kalau saja Steve
Jobs menuruti kehendak pasar saat itu, mungkin Mac OS yang kita kenal sekarang
bukanlah Mac OS X dengan GUI (graphical user interfacae) yang fantastis, yang
datang dengan perangkat revolusioner seperti mouse yang saat itu merupakan
sesuatu yang benar-benar baru.
9. Tidak apa-apa kok jadi CEO
yang plin-plan
Steve Jobs sendiri
mencontohkannya. Pernah suatu kali, Steve berargumen bahwa Apple tidak
seharusnya mendorong tumbuh suburnya App khusus (seperti yang saat ini tersedia
dalam jumlah ratusan ribu di Apple app store) yang akan menyebabkan
berkurangnya frekuensi pengguna mereka dalam menggunakan Safari, browser besutan
Apple sendiri di smartphone revolusioner mereka, iPhone. Di samping itu, Steve
juga cenderung sangat khawatir dengan app karena pengguna hampir pasti tidak
akan bisa mengontrol dengan baik apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh
sebuah app terhadap data mereka.
Well, itu sih awalnya. Tapi dalam
rentang waktu yang tidak lama setelah peluncuran iPhone untuk pertama kalinya,
Steve Jobs akhirnya berubah. Pria yang sebelumnya lebih mendukung pemanfaatan
Safari web app, kini justru lebih memihak ke app khusus. Dan cerita selanjutnya
adalah sejarah manis untuk Apple. Dengan prinsip 70:30, Apple bisa ikut menimba
emas sebanyak 30% dari setiap penjualan app khusus di Apple App Store yang
dibuat oleh developer-developer independen dari seluruh dunia. Bila Apple
sendiri mengklaim bahwa mereka sudah membayar $US 2 miliar untuk developer iOS,
itu berarti mereka setidaknya mengantongi kurang lebih $US 800 juta
(857.142.857). Wow, jumlah yang tidak buruk untuk biaya operasional sekaligus
ongkos beli bandwith dan server milik Apple.
Sumber artikel ini diambil dari web gerobak unik jakarta